Jumat, 29 Juli 2011

Melalui REDD+, Indonesia Menuju Keseimbangan

(K.V.E.: kiriman via email) oleh: Hayat Mansur

Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi merupakan satu peluang bagi Indonesia melakukan perubahan menuju pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan rendah emisi. Kesuksesan menangani REDD memudahkan kelangsungan ekonomi rakyat kita.

Langkah-langkah yang telah dan perlu dilakukan agar REDD sukses di Indonesia dipaparkan dalam Seminar Publik bertema “Pertumbuhan Rendah Emisi: Mau Kemana?  Seminar yang merupakan hasil kerja sama antara Kemitraan dan Yayasan Perspektif Baru (YPB) tersebut digelar Kamis (28/7) di Jakarta.

Hadir sebagai pembicara kunci dalam seminar yang dimoderatori oleh Wimar Witoelar ini adalah DR. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4), yang sebelumnya memimpin Satgas REDD+. Sementara pembicara lain yang hadir sebagai narasumber adalah Dr. Mubariq Ahmad, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Bustar Maitar, Juru Kampanye Greenpeace untuk Asia Tenggara, Rezal Kusumaatmadja, Partner Starling Resources, dan Jeffry G. Saragih, Sawit Watch.

Menurut Kuntoro Mangkusubroto, Indonesia berkomitmen untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan emisi. Komitmen terhadap pertumbuhan ekonomi 7% dan pengurangan emisi 26% atau kini dikenal dengan sebutan 7/26 tidak perlu diposisikan sebagai saling berkontradiksi satu sama lain. “Titik konvergensi antara pertumbuhan ekonomi 7% dan pengurangan emisi 26% adalah pendekatan business NOT as usual,” kata dia.

Beberapa tindakan yang sedang disiapkan untuk mewujudkan REDD+ di Indonesia strategi nasional pelaksanaan REDD+, lembaga REDD+, instrumen pendanaan, intitusi monitoring, reporting, and verification (MRV), dan one map (Peta yang Satu). Semua itu akan dicoba pelaksanaannya di provinsi pilot yaitu Kalimatna Tengah yang saat ini sedang melakukan persiapan akhir.
Mubarik Ahmad mengatakan Indonesia harus menyiapkan langkah-langkah menuju pertumbuhan ekonomi rendah karbon karena kita rentan terhadap perubahan iklim dan menjadi bagian dari penyebab perubahan iklim.  “Potensi kerugian Indonesia akibat perubahan iklim adalah 2,5 – 7% dri GDP (ADB) prakiraan untuk 2100.  Sekitar 100 juta penduduk berisiko terkena dampak yaitu 60 juta orang di daerah pesisir dan 40 juta di pertanian,” kata dia.
Menurut Rezal Kusumaatmadja, pertumbuhan ekonomi rendah emisi adalah pilihan seperti orang memilih rumah dan mobil. Pilihan orang untuk rumah atau mobil adalah pilihan teknis. Sedangkan pilihan untuk sektor kehutanan tidak teknis tapi kompleks. Namun intinya kita punya pilihan yaitu mau diam saja atau melakukan sesuatu. “Kita memilih melakukan sesuatu. Di setiap tantangan ada solusi. Jadi kita harus berani mencoba,” kata dia yang perusahaannya menangani proyek REDD+.
Di sisi lain Jeffry menyoroti mengenai pentingnya stop ekspansi perkebunan sawit dan fokus pada optimalisasi produksi dari kebun sawit yang ada. Pertimbangannya, laju ekspansi sawit rata-rata 400.000 ha di wilayah hutan dan gambut serta lahan kelola masyarakat adat/lokal.  Dalam pembukaan hutan dan lahan gambut sering dilakukan dengan cara membakar sehingga menyebabkan emisi karbon yang sangat besar.
Bustar Maitar  memaparkan bahwa  tanpa ekspansi lahan sebenarnya Indonesia tetap bisa meningkatkan produksi minyak kelapa sawit. Dia mengutip pernyataan Wakil Menteri Pertanian bahwa Bayu Krisnamurthi pada September 2010 bahwa pemerintah menargetkan produksi 40 juta ton minyak sawit tanpa memperluas perkebunan. 
“Elemen kunci untuk membawa Indonesia yang `pada jalur yang benar untuk pertumbuhan ekonomi rendah karbon antara lain kebijakan untuk kebijakan untuk membuat hal ini prioritas antar sektor, mengintegrasikan perubahan iklim, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekonomi,” kata Bustar.
Sebelumnya dalam pembukaan Seminar Publik tersebut, Wicaksono Sarosa, Direktur Eksekutif Kemitraan mengatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk merencanakan pembangunan yang pro-poor dan pro-growth tetap bisa berlangsung tanpa boros emisi karbon. “Pertumbuhan ekonomi yang hemat karbon adalah wujud dari niat pemerintah dan seluruh pihak untuk melaksanakan pembangunan yang tidak BAU (busines as usual) melalui governansi yang baik,” kata dia. 
Menurut Wimar Witoelar, Pendiri Yayasan Perspektif Baru, seminar ini sangat penting karena mempertemukan berbagai orang dengan perspektif masing-masing tentang REDD+. Pada hakekatnya semua menginginkan kehidupan yang lebih baik untuk hutan-hutan dan untuk kita. Tapi titik tolaknya berbeda-beda dengan kepentingan awalnya. Ada yang ingin mengoptimalkan proteksi hutan untuk menyimpan nilai karbon, ada yang ingin melanjutkan aspek komersil yg ada di hutan produksi. “Mudah-mudahan seminar ini menjadi satu langkah untuk menyatukan kepentingan kita bersama, mensukseskan REDD+ dan meningkatkan martabat Indonesia di dunia internasional,” kata Wimar.
Seminar Publik tersebut menjadi salah satu langkah untuk mengajak seluruh pihak memberikan partisipasi dimanapun berada secara inklusif mendiskusikan kemungkinan dan kontribusi dalam mengupayakan perubahan paradigma pembangunan yang hemat karbon. Dalam hal ini perlu diingat, REDD+ bukan hanya proyek pemerintah tapi proyek bersama seluruh rakyat Indonesia karena kita yang akan merasakan manfaatnya.

( Sumber: http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=1357) terkirim via email pada Perspektif Online, 28 July 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar