(Hakekat Tulus dan Sederhana Pemilik Drajat Haqqul Yakin)
Pada era keemasan Demak Bintoro, Raden Syahid selalu mengunjungi wilayah wilayah yang jauh dari keramaian kota, beliau sangat merasa nyaman jika kawasan da’wahnya berada pada kalangan masyarakat yang benar benar awam, dan belum tersentuh ajaran islam, tujuannya adalah agar kelak masyarakat tersebut mau belajar agama islam dengan pondasi yang kuat sehingga faham dan yakin dengan sesungguhnya seluk beluk Iman, Islam, dan berbuah Ihsan, dan begitulah Raden Syahid sangat suka berda’wah dengan pendekatan budaya masyarakat melalu seni gamelan, musik dan wayang, sebagai wadah dan cermin kehidupan kala itu, hingga dengan sendirinya masyarakat merasa disitulah mereka terpanggil dalam suasana akrab.
Masa berikutnya, ketika Raden Syahid dimintai fatwa saat seorang anak baru lahir, Raden Syahid dengan senang hati menghadiahkan nama pada anak ini dengan sebutan Syaikh Aroddin, tapi karena lidah masyarakat Jawa saat itu masih kaku, maka terucap naman itu menjadi “Saridin” pada saat penamaan oleh Raden Syahid waktu itu, terlihat oleh Raden Syahid bahwa dalam diri Saridinada sifat sifat mulia dan harapannya adalah kelak Saridindewasa memiliki sifat sifat mulia itu dan menjadikan ia figur yang diteladani.
Waktu tanpa terasa berganti begitu cepat, Saridin kecil kala itu kini telah beranjak dewasa setelah bertahun tahun ikut belajar bersama kehidupan Raden Syahid, dan keyakinan Raden Syahid tidak bergeser, bahwa pada diri Saridinmemang ada sifat sifat mulia yang layak untuk disempurnakan, karena Raden Syahid yakin akan kondisi ini, maka untuk melihat kesabaran dan kepatuhannya, Saridindiminta Uzlah dan kholwat dengan hanya dibekali sebutir kelapa dan ditunjukkan dimana ia memulai, setelah tiba ditempatnya maka Saridinpun segera bermunajat kepada Allah agar proses pendidikan dirinya melalu “LaduniNya Allah “ berhasil..
“Byurrr”… sejurus kemudian Saridin telah berada dalam air laut dan ditemani oleh sebutir kelapa, itulah masa masa Saridinmenikmati rasa haru dan rindu HadirNya Allah dalam hatinya, waktu terasa cepat bagi Saridin, setelah setiap saat dirinya berada dalam bimbingan Laduni TuhanNya Allah.
Sejurus kemudian Saridinmendengar suara seseorang yang begitu akrab dalam ingatan dan telinganya, “Din, Diin, Anggonmu Kholwat wis cukup Nak, wis ndang ngadeko..” setelah mencari disekelilingnya ternyata Kanjeng Sunan Kalijaga telah menyentuh pundaknya, serta merta dipeluk dan didekap Gurunya yang tak lain adalah Raden Syahid..
Setelah segala sesuatunya menjadi bersih, lumut lumut ditubuhnya bersih dan badannya telah segar layaknya sedia kala, maka Kanjeng Sunan menyampaikan “ Saridin, saat ini dinegeri Rum ada huru hara, dan engkau kumohon secepatnya tiba disana untuk masalah itu”.. imbuh Kanjeng Sunan “Embuh piye caramu teko neng nge_Rum, seliramu iber yoo oleh, moksa yoo oleh, aku Ridho karo penggaweanmu” serta merta Saridin Sungkem Ta’dzim kepada Gurunya, dengan ungkapan “Sami’naa Wa atho’na” Saridinlangsung mundur tiga langkah dari haribaan Gurunya dan sesaat kemudian hilang dari tempat ia berdiri..
Inilah bagian dari perjalanan hidup Saridin, murid yang Iklash dengan sabda Sang Guru, tidak Curiga, tidak membantah dan semuannya dilalui dengan Husnuddzon, karenanya sang Guru rela memberikan Ilmu apa saja yang cocok untuk Ruhnya..
Beberapa masa setelah kejadian dan pengalamannya di Negeri Rum (Bekas Romawi Timur / Istambul Turki, Asal mula Nasab Para Wali tanah Jawa, dan juga Kerabat Sultan Turki juga berada di Hadramaut) Saridinkini telah berada di kampung halaman yang penuh kenangan, sungkem dihadapan Ibu_Bapak..
Dan pagi berikutnya berada di kedokan sawah yang telah mulai semi padinya, sambil cabut rumput sana dan sini… sejurus berikutnya Ibu Bapak dan Kanjeng Sunan telah berada didekatnya sambil menyanyikan “ Lir ilir, Lir ilir, tandure wis semilir tak ijo royo royo tak sengguh pengantin Anyar” seketika ia menoleh karena suara suara itu begitu akrab ditelinganya,.. rasa bingung dan haru melihat Ketiganya hadir bersamaan, ketika Saridin hendak bangun dan sungkem pada Gurunya, Dirinya kebingungan karena masih memegang rumput dan jari jarinya masih berlumpur,.. Tapi Kanjeng Sunan Maklum dengan kondisi itu..
“Maaf Kanjeng Sunan” selama di Rum saya tidak menemukan persawahan yang ada padinya, yang saya temukan kebun kapas, domba, gandum dan sejenis itu, jadi melihat padinya Simbok saya gak sabaran apalagi padinya “Wis semilir”, sambil senyum Kanjeng Sunan menyambuti.. “wis rapopo Din”, tapi 3 hari setelah besok dirimu sudah tiba waktunya datang ke Kudusuntuk belajar lagi kepada Kanjeng Sunan Kudus, “Tanpa Pikir Panjang diiyakan Dawuh Sang Guru”, tapi Kanjeng.. nanti Simbok dan Bopo belum panen saat saya mulai berangkat ke Kudus, sambut kanjeng “ Yo ra opo opo tho, Ndang Dzikir neng Ngarso Gusti Allah,.. setelah persawahan itu sepi dan para petani telah istirahat pulang, Dzikir yang dimulai Saridin meyebabkan aura han hawa ditempat itu tersinerginakan sehingga fermentasi tanah dan unsur hara mempercepat proses tumbuhnya padi dan terjadi penuaan secara pelan pelan, Masyarakat petani tidak sadar akan kejadian itu karena mereka telah capek setelah kerja seharian.
Ketika subuh telah usai Saridinmeyampaikan pada para Jamaah Subuh itu bahwa “padi yang mereka tanam telah siap dipanen” mendengan hal itu mereka terheran heran dan segera meyakinkan diri dengan melihat kepematang sawah, setelah berduyun duyun mereka baru yakin tentang kenyataan itu, sesaat kemudian untuk tanda syukur mereka “Sujud syukur dipematang tempat mereka berada”..
Sore berikutnya Saridindibantu dengan Sahabat masa kecilnya selesai memanen padi itu dan setelah selesai mereka pada berkumpul untuk menikmati hidangan nasi udhuk sebagai tanda bersyukur. Begitulah setelah aktifitas hari itu selesai dan Saridinmenanti Pagi menjelang untuk menunggu tiba Subuh dan segera sungkem pada Simbok_Bopo..
Sesaat berikutnya Saridintelah berada di hutan perbatasan antara Demak Bintoro dan Kadipaten Kudus, ketika ketemu sungai kecil dan jernih Saridinmenggelar Sajadah dan sejenak ber_Dhuha sambil melepas penat, ketika acara itu selesai “ Kanjeng Sunan telah menunggunya untuk memberi batasan proses kesantrian yang akan ia jalani, meskipun dengan bahsa Isyarat bagi Saridin itu telah memperjelas Visinya selama jadi santri di tempat Sunan Kudus”
Setibanya di kawasan Kudus Saridin telah mengganti dandannya sedemikian rupa hingga mirip dengan pemuda dusun, sehingga aura “Sayyid” pada dirinya tidak nampak, “ bersamaan itu didalam ruang Kholwat, Kanjeng Sunan Kudus telah menanti tamu dihari ini dengan tenang sambil berdzikir.. sejurus kemudian pintu itu telah terketuk dan Kanjeng Sunan menjawab salam pemuda dusun ini, setelah bercerita sana sini, maka kanjeng Sunan menunjukkan Saridin tempat dimana ia bisa berkumpul bersama Santri lainnya,. Setelah bertanya sana sini kepada senior Santri, Saridin dusun ini faham tata aturan di pesantren ini..
Sore berikutnya, semua santri punya aktivitas “Ngangsu” yaitu kegiatan mengisi tempat air wudhu untu para jamaah di Masjid Kudus, saat ngangsu rupanya Saridin tidak kebagian timba, setelah tanya sana sini Saridin hanya kebagian “keranjang moto_ero” yaitu keranjang dengan lubang besar besar yang biasanya untuk ngangkut rumput, “yah apa boleh buat gumam saridin”, kalau nggak bawa alat nanti aku dimarahi, kalau bawa keranjang ini juga aku diketawain, Yaa sudahlah aku punya “Bismillah” dalam hatiku..
Sejurus setelah itu Saridin mengambil air dengan keranjang di tangan kanannya dan dibawa ke tempat penampungan.. melihat gelagat seperti ini Santri senior Kanjeng Sunan Kudus melapor pada Ki Sunan, “Sunan Kudus yang juga tahu dengan keadaan ini juga mengangguk angguk” dan menambhakan kata kata yang didengar santri senior “Lebih disyukuri jika setiap air dikeranjangnya ada ikannya”, dan karena beda redaksi penyampaian maka Santri senior mengurangi kalimat dari Kanjeng Sunan, dan kata itu diucapkan kepada Saridin“ Kanjeng Sunan menyampaikan kepadamu bahwa Setiap air ada ikannya” entah bagaimana caranya kamu mengartikan.. Saridin Mengangguk angguk karena Faham Hal ini, “berarti ini sudah ada keterkaitan dengan Hakekat Ma’rifatullah” gumam Saridin.. “baiklah” hanya kata itulah yang dikatakan Saridin kepada teman Seniornya..
Beberapa waktu berikutnya Saridin telah larut dalam suasana belajar, Ilmu Fikih, Semantiq, Nahwu Shorof dll. Pada suatu ketika saat Kanjeng Sunan minta ditemani Saridin, sang Sunan melewati sungai dengan air yang jernih hingga ikan ikan kelihatan dengan jelas, berhubung hanya mereka berdua dari bangsa manusia yang sedang bercakap cakap, maka Kanjeng Sunan mengisyaratkan kata katanya dalam Ilmu Hakekat, dengan isyarat “Dimana ada Air, Disitu ada ikan” Kanjeng Sunan mengulanginya 3 kali, mendengar pengulangan itu SaridinYakin bahwa kalimat yang terulang itu pasti kalimat yang sarat makna, meskipun saat berucap itu Kanjeng Sunan sambil mondar_mandir melihat ikan disungai yang jernih..
Karena ingin meyakinkan pendapatnya tentang “Dimana ada Air, Disitu ada ikan” maka ia merenungi pesan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijaga semasa ia Wusul dalam keadaan Kholwat dulu.., saat melamun itulah Ruh Saridin bersambung dengan Ruh Kanjeng Sunan Kalijaga, sejurus berikutnya suara sayup sayup menyapanya,.. “ono opo Saridin, kok nglamun Nak”.. ketika sadar dengan keadaan ini, ia mengatakan “ini guru terkait yang saya bathinkan sehingga Kanjeng Sunan Datang”, kira kira apa Arti sesungguhnya? “ Kanjeng Sunan dengan singkat menyampaikan “Ilmu itu telah kamu kuasai saat engkau Kholwat di laut ditemani sebutir kelapa” sehingga dengan keyakinan yang kau capai, kata katmu bisa terbukti.. yang penting kamu tahu batasannya.. “inggih kanjeng Sunan, sambil sungkem Ta’dzim” yang setelah itu Kanjeng Sunanpun berlalu bersama angin..
Setelah sadar dengan keadaannya , Saridin tanpa terasa bergumam “untunglah aku dulu menuruti kanjeng Sunan untuk mendalami Suluk Thoriqot sehingga kini aku dapat mencicipi Khazanah ilmu LaduniNya Robbul Jalil yang begitu ni’mat dan tak ada bahasa apapun yang mampu menuliskannya..
Waktu waktu berikutnya, kanjeng Sunan Kudus mengajak para Santri pilihan untuk jalan jalan guna melepaskan penat, saat melewati sungai jernih yang dulu.. kanjeng Sunan berhenti, berhubung saat ini kemarau air sungai itu kering, pada hal Kanjeng Sunan mengajak Para Santri untuk wisata sambil masak masak kuliner.
Mendengar keinginan kanjeng Sunan, Saridin minta Idzin agar mendapatkan ikan di air yang terdekat,.. tapi kanjeng Sunan dan rombongan tidak menemukan air yang layak dihuni ikan, setelah lihat sana sini Saridin ingat bahwa sejak dari rumah Sunan tadi beberapa Buah kelapa telah dibawa, langsung saja ia ambil sebutir kelapa dan minta Idzin pada kanjeng Sunan untuk membelah kelapa itu dengan harapa ada ikan didalam air kelapa ini..
Setelah Sungkem Ta’dzim Saridin membelah kelapa itu “hingga pemandangan yang mengejutkan membuat santri yang lain juga minta Idzin untuk membelah kelapa yang lain, dengan harapan berkah dari Guru dan berkah Doa Saridin dapat menambah ikan ikan itu hingga cukup untuk semua santri..
( dan tentunya Anda telah menemukan kata kunci dalam perjalanan Saridin ini bukaan?: Rendah hati, Ikhlas, Sederhana, mituhu dawuhe guru, tak banyak kata, menghargai sesama teman, penya sifat halim dst.. dst.. Yang semuanya itu adalah bagian dari dasar dasar suluk).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar